Gedung IKEA


Mungkin ini kali pertama dan terakhir saya akan masuk gedung IKEA. Selain rasa nak menangis sebab hampir kebanyakan barang tak mampu dimilik, saya juga merasa pening dengan entah ratusan atau ribuan manusia yang masing-masing sibuk memilih itu ini. Pening yang datang tiba-tiba buat saya buru-buru cari tiang untuk berpaut, tapi saya segera pulih, tak mahu tampak lemah hanya kerana lelah dan rimas dengan lautan manusia. Saya puas walau sekadar jamu mata lihat perabot dengan desain minimalis tetapi harga sebaliknya pula. Ketika saya sudah berkeputusan untuk hanya membeli laundy box, saya sempat mendengar gumam si moka pot pada jag pembancuh kopi yang seolah mentertawakan saya yang hampir 10x belek badannya, hanya untuk meletakkannya semula ke atas rak pameran. Dengan tenang saya balas sindiran itu dengan satu senyum yang manis hingga beberapa cawan hampir pecah. Diri saya yang satu lagi (yang serupa saya cuma tak pernah keluar dari badan) cuba menenangkan saya dengan pujukan “tak apalah, ini semua cuma nafsu. Kau sudab ada apa yang kau perlu,” saya bersetuju walau ada juga air mata halimunan menitis di pipi yang berjerawat halus. Ketika beratur untuk bayar, saya berdoa supaya di luar hujan lebat jadi saya tak begitu pilu menangis sendirian dan ternyata Tuhan cepat mengabulkan doa saya. Akhirnya, saya belanja diri sendiri secawan kopi latte di toko serbaneka jepun dan pulang dengan rasa “tak apalah, cuma teko. Nanti aku bisa beli 3 pada 24 haribulan!”

Comments